Mahpud Sujai
Jakarta, 3 Maret 2021 – Krisis pandemi covid 19 yang menghantam dunia sejak tahun lalu menyebabkan berbagai dampak yang signifikan bagi seluruh sektor kehidupan termasuk sektor perekonomian. Salah satu sektor yang terdampak cukup parah oleh krisis pandemi ini adalah sektor properti. Penyebab sektor properti cukup terhantam adalah karena menurunnya daya beli masyarakat yang menyebabkan tingkat penyerapan pasar terhadap sektor properti terkoreksi tajam.
Penurunan penjualan properti di Indonesia tidak hanya menimpa properti komersial saja seperti apartemen, mal atau rumah mewah, namun juga mempengaruhi penjualan rumah masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Meskipun penjualan rumah MBR mendapatkan subsidi dari pemerintah, namun penurunan daya beli masyarakat bawah pun terjadi cukup tajam yang menunda mereka untuk melakukan pembelian rumah.
Berdasarkan data DPP Real Estat Indonesia (REI), selama masa pandemi ini, pasar perumahan secara total turun drastis hingga 50 persen. Sementara itu, pasar perkantoran turun lebih tajam sekitar 70 hingga 75 persen serta pasar oenjualan untuk mal dan pusat perbelanjaan turun hingga 85 persen. Bahkan untuk properti perhotelan, dampak yang ditimbulkan sangat parah dimana terjadi penurunan hingga 90 persen untuk perhotelan.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan jika berlangsung lama akan menyebabkan pengusaha properti menjadi kolaps. Agar pengembang properti bisa survive di masa pandemi, DPP REI meminta pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan keringanan pajak, kredit, maupun biaya operasional, baik berupa pemotongan atau penundaan pembayaran. Sektor properti merupakan sektor yang sangat penting bagi perekonomian karena sektor ini menggerakkan sekitar lebih dari 170 industri terkait seperti industri bahan bangunan, industri kimia, industri besi dan baja serta berbagai industri lainnya. Selain itu juga sektor properti mempekerjakan lebih dari 30 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia.
Pemenuhan kebutuhan rumah merupakan kebutuhan dasar yang menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk dapat memenuhinya. Kebutuhan dasar perumahan ini menjadi concern pemerintah dengan berbagai program-program yang dilakukan terutama oleh Kementerian PUPERA. Program terbaru yang dicanangkan adalah program sejuta rumah yang berjalan sejak dimulainya periode kepemimpinan
Pada rentang waktu antara tahun 2015 – 2019, program tersebut telah berhasil membangun 4,8 juta unit rumah, baik yang dibangun langsung oleh pemerintah maupun pengembang swasta. Sementara itu, dalam kurun waktu antara tahun 2020 – 2024, Kementerian PUPERA kembali menargetkan 5 juta unit terbangun. Namun hingga saat ini, pelaksanaan program tersebut kurang menggembirakan karena terkendala pandemi Covid-19.
Data KemenPUPERA menyatakan bahwa realisasi program sejuta rumah pada tahun 2020 hingga bulan Agustus lalu hanya mencapai sekitar 260 ribuan unit. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi hingga bulan Agustus tahun 2019 yang sudah mencapai 600 ribuan rumah. Sehingga terjadi penurunan yang cukup tajam hingga 60 persen sebagai dampak pandemi. Namun pemerintah tetap berkeyakinan bahwa target satu juta unit rumah per tahun selama periode 2020-2024 tetap dapat tercapai.
Hal ini disebabkan karena rumah merupakan kebutuhan mendasar masyarakat dan diharapkan pandemi segera berakhir sehingga permintaan akan rumah kembali meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian pasca krisis pandemi. Program sejuta rumah pemerintah dapat terwujud pada periode pertama tahun 2015-2019 salah satunya karena kontribusi dari skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), program subsidi selisih bunga sebanyak 200 ribu unit serta program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya, rumah susun, dan rumah khusus sekitar 200 ribuan unit.
Pemerintah terus berupaya keras agar sektor properti terutama penjualan rumah MBR terus berjalan sesuai target. Berbagai kebijakan fiskal dan non fiskal diluncurkan untuk mewujudkan target ini. Kebijakan fiskal yang diberikan antara lain adalah dalam sisi keringanan pengenaan pajak, pemerintah menurut Kementerian Keuangan hanya mengutip PPh Final 1 persen bagi pengembang rumah subsidi.
Kebijakan fiskal terbaru yang akan diluncurkan pemerintah untuk menggenjot sektor properti adalah kebijakan pembebasan PPN 100 persen untuk penjualan rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar serta 50 persen untuk penjualan rumah dengan harga Rp 2 miliar – Rp 5 miliar. Pembebasan PPN ini sama seperti yang diberikan kepada sektor otomotif memiliki tujuan untuk mendorong kembali bergeraknya sektor properti pasca krisis pandemi dan meningkatkan daya beli masyarakat untuk segera membeli rumah. Pada akhirnya ketika penjualan meningkat, maka perekonomian akan terdongkrak naik.
Meskipun kebijakan ini bersifat sementara dan hanya berlaku pada tahun 2021, ini, namun kebijakan ini harus tetap diapresiasi sebagai upaya pemerintah untuk mendorong pergerakan sektor properti pasca krisis pandemi. Kesempatan ini sudah sebaiknay dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mulai membelanjakan penghasilannya terutama bagi yang ingin berinvestasi di sektor properti dan ingin memiliki rumah pertama yang disubsidi oleh pemerintah.
Sementara itu, kebijakan non fiskal yang diberikan pemerintah bagi pengusaha properti antara lain adalah kebijakan yang dikelurakan Kementerian PUPERA yang menawarkan sejumlah insentif untuk menggenjot pembangunan rumah bagi masyarakat. Misalnya, pemerintah memberikan bantuan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) untuk membangun kawasan hunian, seperti jalan lingkungan, tempat pengelolaan sampah terpadu, sanitasi, serta sistem air bersih.Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas hunian, Pemerintah mengucurkan bantuan dana renovasi rumah tidak layak huni (RTLH) melalui Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau Program Bedah Rumah. Melalui program ini, setiap unit rumah mendapat dana peningkatan kualitas sebesar Rp17,5 juta.
Dalam hal perizinan, Pemerintah melakukan penyederhanaan tahapan perizinan bagi sektor properti dari 33 tahap menjadi 11 tahap. Begitu pula dengan lama proses perizinan yang dipercepat dari 981 hari menjadi hanya 44 hari.
Dalam hal dukungan dari sektor keuangan dan perbankan, pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor: 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 tertanggal 13 Maret 2020.
Menurut kebijakan tersebut, pelaku usaha sektor properti nasional dapat mengajukan restrukturisasi kredit akibat terdampak pandemi Covid-19. Sehingga DPP REI mengharapkan agar perbankan dapat segera menerapkan POJK tersebut sehingga aktivitas pembangunan perumahan baik yang berskala rumah bersubsidi maupun properti komersial saat ini dapat kembali bergerak. POJK No 11 tahun 2020 tersebut mengatur pemberian stimulus perekonomian terkait pandemi Covid-19 untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, namun dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian serta manajemen risiko perbankan.
Kebijakan stimulus tersebut terdiri dari penilaian kualitas kredit/ pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit sampai dengan Rp10 miliar dan Restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi.
Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan bank tanpa batasan plafon kredit. Sementara kriteria debitur yang mendapatkan perlakuan khusus dalam POJK ini yakni debitur (termasuk debitur UMKM) yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada bank karena debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran virus corona baik secara langsung ataupun tidak langsung pada sektor ekonomi.
Diharapkan berbagai bauran kebijakan baik kebijakan fiskal, non fiskal maupoun keuangan dan perbankan dapat kembali menumbuhjkan harapan bergeraknya sektor properti pasca krisis pandemi covid 19. Ketika sektor properti bergerak, maka sektor-sektor lain yang memiliki kaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan sektor properti akan kembali menggeliat. Sehingga pada ujungnya perekonomian nasional akan kembali bangkit menuju kondisi yang lebih baik.
Penulis adalah Peneliti Ahli Madya pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Mahpud Sujai