Mahpud Sujai* dan Ayu Putu Maharani**
*Peneliti Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
** Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Seperti layaknya pangan, Pendidikan, dan kesehatan, rumah merupakan kebutuhan pokok mendasar dari manusia. Kebutuhan akan rumahpun menjadi suatu hak manusia yang merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini telat dijabarkan dalam Kovenan Internasional dalam bidang Ekonomi, Sosial, dan Hak Kebudayaan yang bersifat mengikat bagi Negara Indonesia karena sudah diratifikasi pada tahun 2005. UUD Republik Indonesia Pasal 28H (1) juga mengatur bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapalkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal dalam Undang Undang Dasar tersebut menjadi amanah bagi Pemerintah Indonesia yang selanjutnya diatur dalam UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemungkiman dan UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah susun. Amanah ini memperjelas bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap orang berupa tempat tinggal. Hal ini ditekankan terutama pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Memiliki rumah atau tempat tinggal nyatanya bukanlah hal yang mudah. Memiliki rumah bahkan terkadang terkesan sebagai mimpi bagi sebagian orang. Banyak orang yang mengatakan bahwa sangat sulit untuk menyisihkan penghasilan yang mereka dapatkan untuk down payment dan cicilan bulanan sebuah property karena tingginya biaya hidup dan harga property dibandingkan dengan penghasilan yang mereka terima.
Badan Pusat Statistik memiliki data bahwa masih terdapat backlog kebutuhan tempat tinggal sebesar 13.500.000-unit rumah. Backlog rumah merupakan suatu perspektif kepenghunian yang mengacu pada perhitungan ideal bahwa 1 rumah ditempati 1 rumah tangga atau 1 keluarga. Backlog merupakan selisih dari jumlah keluarga dikurangi dengan jumlah rumah yang ada, maka dari itu backlog merupakan besarnya kekurangan tempat tinggal antara keadaan ideal dan keadaan yang sesungguhnya. Diatas permasalahan itu, kebutuhan akan rumah baru meningkat 800.000 unit pertahunnya. Permasalahan rumah tidak hanya tentang kuanlitas namun juga mengenai kualitas. Dari jumlah rumah yang tersedia, tidak sedikit diantaranya kurang layak dikatakan sebagai hunian yang sehat.
Selain masyarakat berpenghasilan rendah, generasi millennials pun merasa kesulitan untuk bisa memiliki hunian. Atas dasar Undang Undang diatas, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan akan tempat tinggal yang layak melalui kemudahan ataupun bantuan. Oleh karena itu pemerintah membuat peraturan untuk mengatasi hal tersebut. Sebagai pelaksanaan dari Undang Undang tersebut, Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa membuat program bantuan dan kemudahan bentuk Subsidi Kredit Pemilikan Rumah.
Kredit Pemilikan Rumah adalah bagian dari fasilitas Bank yang membantu masyarakat untuk memiliki rumah dengan pendanaan atau kredit dari bank. Prinsip KPR adalah mencicil, jadi dengan konsep membiayai terlebih dahulu biaya perolehan ataupun pembangunan rumah dan pembayaran oleh masyarakat selaku pembeli akan dilakukan dengan cara mengangsur atau mencicil biaya tersebut. Kini Kredit Pemilikan Rumah diberi subsidi oleh pemerintah sebagai penerapan dan pelaksanaan dari UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemungkiman dan UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah susun.
Subsidi Kredit Pemilikan Rumah saat ini yang diberi oleh pemerintah ada 4 utama, diantaranya Pembiayaan Pemilikan Rumah Subsidi Selisih Marjin (KPR SSM), Kredit Kepemilikan Rumah Subsidi Selisih Bunga(SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan(FLPP). KPR Bersubsidi sendiri memiliki arti yaitu pembiayaan rumah yang mendapat bantuan dan atau kemudahan perolehan rumah dana murah jangka panjang dan subsidi perolehan rumah.
SSB atau Kredit Kepemilikan Rumah Subsidi Selisih Bunga merupakan Kredit kepemilikan rumah yang diterbitkan oleh Bank secara konvensional. SSM Merupakan pembiayaan pemilikin rumah dengan prinsip Syariah mendapat pengurangan marjin, prinsipnya mirip dengan SSM. SBUM adalah Subsidi Bantuan Uang Muka yang diberikan pemerintah kepada MBR( Masyarakat Berpenghasilan Rendah) sebagai bentuk bantuan pemerintah dalam aspek pemenuhan sebagaian atau seluruh uang muka/down payment perolehan rumah. FLPP merupakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada MBR yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
KPR FLPP merupakan bentuk kemudahan dan bantuan yang diberi pemerintah demi pemenuhan tanggung jawab merintah untuk menyediakan atau membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya akan tempat tinggal. Suku bunga untu KPR FLPP ini sangat rendah yaitu sebesar 5% dan bersifat tetap atau tidak berubah. Jangka waktu peminjamanpun sampai dengan 20 Tahun, down payment yang sangat ringan tentu membantu masyarakat, serta mendapat fasilitas PPN berupa pembebasan PPN, dan bebas premi asuransi kebakaran.
Artikel ini akan terfokus untuk membahas mengenai kebijakan FLPP itu sendiri. FLPP diharapkan dapat membantu permasalah mengenai pemenuhan kebutuhan rumah tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. KPR FLPP subsidi ini diperuntukan bagi masyarakat dari desil 4,5, dan 6 yaitu dengan penghasilan bulanan keluarga sebesar Rp. 3.100.000 untuk desil 4, Rp. 3.600.000 perbulan untuk desil 5 dan Rp. 4.200.000 untuk desil6 dapat membeli rumah sehat sederhana (Berdasarkan Peraturan Menteri, 2007).
Kebijakan Pemerintah dalam menerapkan system FLPP pertama kali disambut oleh Menteri Keuangan 2010 Agus Martowardojo, beliau kemudian menetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 290/KMK.05/2010 tanggal 15 Juli 2010. Harapan pemerintah dengan adanya bantuan sosial berupa pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah terjadi stimulus bagi pertumbuhan sektor ekonomi riil seperti industri perumahan sehingga dapat memacu peningkatan perekonomian dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Pada tahun 2015 terjadi penggabungan antara Kementrian Perkerjaan Umum dan Kementrian Perumahan Rakyat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan menjadi Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) yang berada dibawah Menteri PUPR. Tahun 2016 PPDPP ditetapkan menjadi Instansi Pemerintah. Tugas PPDPP adalah untuk mengelola dana dan mendistribusikan dana investasi pemerintah untuk pembiayaan kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk pembiayaan kepemilikan rumah masyarakat berpenghasilan rendah.
Walaupun sudah ditetapkan sejak 2010, skema pendanaan dengan system KPR FLPP ini baru mulai diberlakukan secara efektif 6 tahun pada tahun 2011. Pembiayaan dengan skema KPR FLPP ini meliputi pembiayaan pembangunan maupun pemilikan rumah sejahtera, termasuk diantaranya rumah tapak dan rumah susun.
Tujuan dari kebijakan FLPP ini berlatar belakang (1) Terbatasnya daya beli masyarakat dan penghasilan yang insignifikan serta peningkatan penghasilan pertahunnya yang dibawah persentase inflasi. Serta biaya hidup yang bertambah besar. (2) Suku bunga properti yang cukup tinggi. (3) Upaya pengoptimalisasi pemanfaatan dana APBN dengan terbatasnya sumber daya negara (4) Investasi dana perumahan jangka Panjang (5) Integrasi antar sumber pembiayaan lain. FLPP juga memiliki sasaran output berupa (a) Kebijakan dengan skema kredit untuk MBR yang mempunyai penghasilan tidak tetap. (b) Penyempurnaan kebijakan skema rumah susun untuk pemenuhan hunian di perkotaan. (c) Meningkatkan sosialisasi kebijakan program FLPP kepada masyarakat melalui Bank pelaksana.
Namun penyaluran dana dalam FLPP bukan berarti tanpa resiko. Resiko yang dihadapi pemerintah dalam hal FLPP ini berupa ketidaktepat sasaran pemberian Kredit FLPP baik dalam proses seleksi yang berhak pemanfaatan rumah maupun kelengkapan bangunan rumah, selain itu juga ketidak sesuaian anatara kebutuhan perumahan MBR dengan ketersediaan perumahan MBR pada tiap tiap daerah. Dalam menghadapi resiko tersebut pemerintah melukakan berbagai langkah untuk memitigasi resiko tersebut. Salah satu langkah trsebut adalah dengan menetapkan kriteria debitur yang dapat memanfaatkan KPR FLPP. BLU PPDPP juga memperketat pemeriksaan terhadap pemohon KPR FLPP dengan kategori tertentu yang berhak mendapatan KPR FLPP dengan cicilan bunga 5%(Lima Persen). Dilakukannya juga upaya pemda untuk memastikan lebih lanjut calon penerima KPR FLPP agar benar benar sesuai dengan kriteria yang ada dan memastikan kesesuaian anatara kebutuhan dan ketersediaan rumah masyarakat berpenghasilan rendah di seluruh wilayah Indonesian demi adanya pemetaan yang merata, efisien, dan akurat.
Mekanisme mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah FLPP dilakukan dengan beberapa langkah.Langkah pertama adalah nasabah atau calon pembeli rumah mencari tahu tentang infornasi FLPP dan developer rumah atau properti. Calon pembeli lalu melakukan pembayaran booking fee kepada developer rumah. Setelah semua dokumen diselesaikan, developer akan meneruskan dokumen tersebut ke bank pelaksana. Nasabah melakukan pembayaran uang muka atau down payment lalu membuat letter of credit.
Secara nyata distribusi dan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah FLPP ini merupakan bentuk bantuan pemerintah dengan berkolaborasi dengan bank pelaksana program kepada masyarakat dengan penghasilan rendah. Badan Layanan Umum(BLU) dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menyediakan kebutuhan masyarakat berupa barang maupun jasa namun tidak seperti perusahaan laun, BLU tidak mengutamakan penambahan ekonomis berupa keuntungan, dalam melakukan kegiatannya pun BLU mengutamakan efisiensi dan produktivitas.
Tabel diatas merupakan realisasi KPR FLPP dari tahun pertama kali diselenggarakan yaitu tahun 2010 sampai dengan tahun 2019. Data ini diambil langsung dari situs BLU PPDPP dibawah naungan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementrian Keuangan.
Dari tahun 2010 sampai dengan 2019 memang jumlah unit yang direalisasikan cenderung tidak stabil namun secara realisasi target, dari tahun ke tahun realisasi FLPP sudah baik, bahkan untuk tahun tahun tertentu realisasinya melampaui jumlah yang ditargetkan. Capaian penyaluran FLPP 2019 hingga 23 Desember sudah mencapai 77.835 unit dan dana yang dipakai sudah sebesar Rp7,6 miliar dengan target awal sebesar 68.585 unit rumah.
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan untuk tahun 2020 ini sudah mengalokasikan anggaran untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan sebesar Rp. 11.000.000.000.000 ( Sebelas Triliyun Rupiah) yang direncanakan untuk 102.500 unit rumah. Eko D. Heripoerwanti, Dirjen Pembiayaan Infrastuktur Pekerjaan Umum dan Perumahan mengatakan bahwa penyaluran KPR-FLPP ini dilaksanakan melalui LPDPP dan Bank Pelaksana. Menurut Eko, alokasi dana ini sudah termasuk pengembalian pokok sebesar Rp2.000.000.000.000 dan Top Up FLPP Tahun Anggaran 2019. Target tersebut menurutnya dapat ditingkatkan sesuai dengan daya serap pasar maksimal kurang lebih 50.000 unit rumah. Hal ini disebabkan oleh BP2BT yang berasal dari pinjaman atau hibah luar negeri yang kenaikan outputnya tidak memerlukan persetujuan dari DPR. Pemerintah juga sedang mengembangkan skema atas pemenuhan pembiayaan rumah untuk ASN, TNI, atau Polri untuk mereka yang memiliki penghasilan diatas Rp 8.000.000 per bulan. Skema ini adalah melalui penyaluran KPR ASI, TNI, atau Polri dimana Bank Penyalur bekerja sama dengan Bendahara Gaji di Kemetrian ataupun Lembaga terkait yang bertugas dan bertanggung jawab atas pemotongan gaji untuk pembayaran angsuran KPR.
Penyaluran ini dapat diajukan oleh pegawai pemerintah dengan mengajukan KPR kepada Bank Penyalur. Bank Penyalur kemuadian akan melakukan pencarian KPR kepada debitur dan dijual kepada PT.SMF untuk kemudian dibayar dengan dana jangka Panjang. Aset KPR sementara berada di PT. SMF dan dijual dalam bentuk EBA atau Covered Bond KPR ASN/TNI/POLRI ke pasar modal.
Anggaran FLPP yang relatif menurun dari tahun sebelumnya membuat PT Bank Tabungan Negara Tbk (Bank BTN) tidak terlalu bergegas mengejar pertumbuhan KPR subsidi. Target pertumbuhan yang diberikan oleh Bank BTN ini hanyalah sebesar 3%. Walaupun menurunkan target penyaluran KPR FLPP secara drastis, Bank BTN masih mengharapkan penyaluran KPR secara umum baik subsidi dan non subsidi sebesar 17% dengan lebih memfokuskan pada KPR non subsidi. Langkah yang dipersiapkan adalah dengan membuat produk Kredit Perumahan yang meranik dan terjangkau bagi masyarakat golongan ekonomi menengah, terutama generasi millennial dan generasi Z yang sebagian besar merupakan fresh graduate tahun 2020.
Presiden Joko Widodo memastikan bahwa akan ada penambahan anggaran program KPR FLPP ini untuk pembangunan rumah bersubdisi pada tahun 2020, hal ini disebabkan oleh perkiraan bahwa kuota FLPP untuk tahun 2020 akan habis pada April mendatang. Presiden Joko Widodo bahkan memberi target 1.250.000 unit rumah yang akan dibangun tahun ini. 70% diantara 1,25 juta unit rumah tersebut akan dibangun untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemerintah dan stakeholder lainnya terus berupaya untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, salah satunya tempat tinggal yang memadai. Pertumbuhan jumlah penduduk terus berkembang dengan pesat hal ini juga berdampak pada angka backlog yang kian juga meningkat, semakin banyak kekurangan rumah layak perkepala keluarga. Hal ini menjadi latar belakang dan alasan dibalik kebijakan pemerintah dibidang subsidi KPR yaitu KPR FLPP. Suku bunga yang diimbuhkan kepada masyarakat penerima KPR FLPP ini digolongkan cukup rendah dan constant selama masa pinjaman dengan tenor yang panjang memberi kemudahan bagi masyarakat dan meminimalisir dead weight loss yang ada di pasar saat ini sehingga lebih banyak masyarakat yang mampu membeli hunian. Selama berjalannya program FLPP ini, kinerjanya dikategorikan cukup baik sehingga program ini terus dilanjutkan dari tahun ke tahun. Problematika dari KPR FLPP ini adalah besarnya biaya yang telah dihabiskan untuk subsidi ini namun kebutuhan perumahan masih belum bisa dipenuhi. Saat ini alternative kebijakan lain masih sangat dibutuhkan demi efisiensi dana. Regulasi pembiayaan perumahan saat ini lebih baik dipusatkan pada regulasi yang mampu memberikan keberpihakan terhadap Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Semoga dengan segala upaya pemerintah yang sudah diambil dan kebijakan kebijakan kedepan yang akan diterapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang sangat krusial dan mendasar ini mengenai hak untuk mendapatkan rumah atau tempat tinggal yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tulisan tersebut merupakan pendapat pribadi, dan bukan mewakili pendapat institusi penulis.
*Peneliti Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
** Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN